Student Dialogue on Islamic Education: Indonesian Experience

Mahasiswa PAI S2 UIN Sunan Kalijaga berfoto bersama mahasiswi Toyo Eiwa University
Pada tanggal 24 September 2019, mahasiswi program Magister Pendidikan Agama Islam (PAI) mendapat kesempatan untuk mengisi kuliah umum dengan tajuk “Student Dialog on Islamic Edcation in Indonesia” di ruang teatrikal perpustakaan Toyo Eiwa University. Mereka adalah Ida Ayu Larasati, Nazilatus Syukriyah dan Aridlah Sendy Robikhah, bersama salah satu guru besar di kampus tersebut, Prof. Takeshi Konho, Ph.D melakukan dialog dan sharing terkait dengan pendidikan.
Kuliah umum di buka dengan pemaparan pemikiran Prof. Takeshi Konho dengan judul “ Challenges Facing Japanese Education”. Sang profesor menjelaskan mengenai tantangan – tantangan yang telah, sedang dan akan dihadapi oleh dunia pendidikan di Jepang. Mulai dari masalah terkait peserta didik, pengelolaan hingga dampak yang ditimbulkan akibat meurunnya kualitas pendidikan di Jepang. Hal yang paling di garis bawahi adalah bagaimana solusi yang mungkin dapat ditawarkan untuk dapat menghadapi tantangan yang ada.
Dalam kesempatan tersebut, 3 mahasiswi PAI menyampaikan pemikiran – pemikiran mereka terkait perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dengan pengantar yang disampaikan oleh Bapak Dr. Radjasa. Dalam pengantarnya, Dr. Radjasa menyampaikan harapan agar dialog dan sharing yang dilakukan dalam forum tersebut dapat saling menginspirasi satu sama lain untuk menentukam langkah dalam pengelolaan pendidikan.
Berbicara mengenai perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tentu tidak akan pernah terlepas dari pembahasan tentang pesantren. Pesantren merupakan institusi yang menjadi tonggak awal tumbuh dan berkembangnya pendidikan Islam di Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ida Ayu Larasati dalam tulisan yang berjudul “Islamic Boarding School Education in Indonesia”. Ida, sapaan akrab mahasiswa tersebut, mengenalkan sejarah berdirinya Pesantren di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1386 oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim, pada masa awal berdirinya, pesantren hanya mengajarkan tentang pelajaran agama saja dan dengan menggunakan metode tradisional. Seiring perkembangan zaman, sekitar tahun 1970-an beberapa pondok pesantren di Indonesia yang dikenal sebagai bentuk pendidikan non formal kemudian menyelenggarakan pendidikan formal dengan tetap mempertahankan tradisi dan unsur-unsur utama pesantren yakni Kyai, Santri, Masjid, Asrama dan Kitab Klasik (Kitab Kuning). Kaitannya dengan kondisi Indonesia yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa, itu sangat sesuai dengan tujuan pendidikan pesantren yaitu membentuk kepribadian Muslim yang berakhlak, bermoral yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan pengetahuan umum sebagai manfaat untuk agama, masyarakat dan negara. Hal ini juga di visualisasikan melalui gambar – gambar tentang aktivitas pesantren untuk memberikan gambaran yang jelas kepada audiens. Penjelasan Ida dengan menggunakan Bahasa Inggris yang fasih dan jelas berhasil membuat kesan pertama yang bagus di benak para audiens yang hadir.
Kehidupan manusia adalah kehidupan yang dinamis dan tak pernah lepas dari perubahan, sehingga tantangan yang dihadapi dalam kehidupan pun ikut berubah, tak terkecuali tantangan globalisasi. Dalam menghadapi arus globalisasi yang begitu kencang, pesantren harus mampu menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan zaman. Nazilatus Syukriyah, satu dari 3 mahasiswi PAI yang menyampaikan pemikirannya dalam forum tersebut menjelaskan terkait pengembangan kurikulum yang merupakan jantung perkembangan pesantren dalam merespon perubahan zaman. Dalam pemaparannya yang berjudul “ The Main Focus of Curriculum Applied in Various Indonesian Pesantren” Nazil menjelaskan bahwa dalam menghadapi tantangan zaman, pesantren – pesantren yang ada di Indonesia menentukan fokus utama kurikulum yang di usung dalam proses pendidikan masing – masing, fokus utama dari kurikulum ini kemudian menentukan pola pengelolaan, proses pembelajaran, penyediaan fasilitas serta budaya dalam suatu pesantren menggunakan sebuah diagram Curriculum reform yang kemudian melahirkan jenis – jenis pesantren di Indonesia yakni Pesantren Salaf, Pesanren Tahfidz Quran, Pesantren Bahasa Asing, Pesantren Entrepeneur dan Pesantren Komprehensif. Pemaparan tersebut juga mempertegas bahwa bagaimanapun fokus utama kurikulum dalam suatu pesantren, ada hal pokok sama yang menjadi tujuan utama pesantren yakni membentuk generasi yang terbekali iman yang kuat, moral dan sosial yang baik serta keilmuan yang luas agar dapat melaksanakan tugas Hablun minallah dan Hablun minannas dengan seimbang. Hal ini sejalan dengan motto pendidikan di Toyo Eiwa University yakni Reverence toward God and Service to the community, Nazil menyebutkan motto tersebut dalam bahasa Jepang (敬神, Keishin dan 奉仕, Hooshi) diikuti dengan riuh tepuk tangan audiens.
Sebagai penutup, Aridlah Sendy Robikhah yang akrab dipanggil Icha menyampaikan pemikirannya tentang posisi Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia dengan judul “Islamic Education as National Education System”. Dalam pemaparannya, Icha banyak menggaris bawahi peran PAI dalam menanamkan pendidikan Multikultural mengingat Indonesia adalah negara multikultural terbesar di dunia. Pendidikan Islam sebagai salah satu cara menuju kehidupan yang toleran dalam bingkai kemajemukan. Ia menjelaskan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan kebencian, Islam sangat mencintai perdamaian, kasih sayang dan saling menghormati, itulah mengapa di tengah presentasinya ia menegaskan bahwa “radicalism, terrorism in the name of Islam is absolutely false”. Pendidikan Agama Islam tidaklah berdiri sendiri, terdapat 3 Dasar Yuridis sebagai acuan dalam implementasi Pendidikan Islam di Indonesia, antara lain Pancasila, UUD 1945 dan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 3 hal ini akhirnya memperkuat status Pendidikan Agama Islam sebagai subsistem yang ikut menentukan keberhasilan Pendidikan Nasional. Ia juga menyebutkan bahwa sebagai negara yang besar Indonesia memiliki 2 Kementerian yang bertugas mengelola 2 macam sekolah formal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bertugas mengatur Sekolah Umum dan Kementerian Agama bertugas menghandle Sekolah Berbasis Agama yang keduanya sama-sama bersinegri membangun peradaban yang lebih baik melalui pendidikan. Icha menutup presentasinya dengan ucapan Arigato Gozaimasu yang diikuti tepuk tangan dari audiens yang hadir.
Selanjutnya, terjadi dialog tanya jawab antara mahasiswa maupun dosen yang hadir dalam forum tersebut untuk saling berbagi Infromasi mengenai pengelolaan pendidikan di tempat masing – masing. Forum tersebut di tutup dengan riuh tepuk tangan tanda kepuasan dan saling bertukar merchandise sebagai kenang – kenangan.
Pepatah mengatakan, sambil menyelam minum air. Mumpung di Jepang, mereka diajak mengunjungi beberapa situs penting di negara Sakura tersebut seperti Asakusa Temple, Tokyo Skytree,Ginza sebagai pusat mode, dan beberapa tempat lain untuk menambah wawasan dan memanjakan mata. “Terukir dalam prasasti hidup, momen yang bloody unforgetable”, komentar salahsatu mahasiswi saat ditanyai tentang kesan selama field study ini. Mau punya kisah menyenangkan juga? Yuk bergabung bersama kami, magister PAI UIN Suka!